17 September 2014

A Letter for You

Aku bukan seorang ahli bahasa yang pandai berkata-kata
Aku juga bukan seorang penyair yang mahir merangkai sebuah puisi
Aku pun bukan seorang pujangga yang sanggup mengungkapkan begitu saja semua yang ada di dalam kepala
Bahkan untuk membuat tiga kalimat di atas saja aku harus berpikir cukup keras agar terdengar renyah di telinga

Seperti katamu, bukannya aku tidak bisa menjanjikan di kemudian hari yang tersisa hanya keindahan, tapi bukankah tidak ada yang tahu bagaimana rahasia Tuhan esok hari?
Aku hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik di masa depan nanti

Aku tahu kau paling benci saat marahku adalah diam, aku tidak berkata tapi hanya diam
Aku tahu kau paling benci saat kita bersama tetapi terkadang aku asyik sendiri depan gadgetku
Aku tahu kau paling benci saat aku menanyakan masalah pekerjaan di saat kita sedang bercengkrama
Aku tahu kau paling benci saat kita harus berpisah sementara waktu dan merelakanku melanjutkan studi di luar kota
Aku tahu kau paling benci saat perasaan rindu muncul tapi dipisahkan oleh jarak dan tidak bisa berbuat apa-apa selain menyibukkan diri agar tidak terlihat sedih olehku
Sungguh aku tidak bermaksud untuk membuatmu sedih, sabarlah, sabarlah hingga segalanya tuntas dan aku kembali kepadamu membawa kabar bahagia

Kau tahu aku bukan seorang yang pintar memasak, bahkan membuat mie instant untukmu saja terlalu lembek katamu. Jika aku boleh memilih, aku akan memilih membersihkan dan merapikan rumah saja ketimbang memasak
Kau juga tahu aku bukan seorang yang cerdas di atas rata-rata yang dapat menyelesaikan masalah secepat saat kau sedang makan
Kau pun tahu aku bukan seorang atletik yang hobi berolahraga sehingga harus kau paksa dan terus dimotivasi untuk terus hidup sehat dan rajin berolahraga

Wahai sayang, apakah kau tahu? Aku berusaha keras untuk menghapal dan membedakan mana itu sawi, bayam, dan kangkung. Belajar bagaimana memasak nasi yang punel. Mengerti bagaimana cara menggoreng tahu dan tempe. Meracik bumbu untuk membuat masakan sederhana. Membuat lidah lebih peka terhadap segala takaran masakan. Mengasah insting kapan waktunya meniriskan dan mematikan kompor. Aku berusaha tapi belum bisa dikatakan sebagai seorang ahli. Jauh, sangat jauh dan bahkan belum bisa meramu masakan yang berbumbu tajam. Tapi bukankah ini semua proses, ya kan?

Wahai sayang, apakah kau tahu? Aku berusaha untuk hidup sehat dan aku memang suka dengan hidup sehat. Tapi memang untuk berolahraga, malasku lebih besar daripada niatku. Dan kau pun menjadi salah satu motivatorku selain diriku sendiri di masa depan nanti. Aku ingin hidup sehat dan menjadi pribadi yang sehat. Yang akan menjadi panutan sebagai seorang ibu dan seorang istri yang baik dan sehat jasmani dan rohani.

Diriku senantiasa berdoa, memohon kepada Tuhan untuk memberikan kesehatan kepadamu. Kesehatan dalam beraktivitas, kesehatan dalam berpikir dan bertindak, dan kesehatan saat kau beribadah. Di sampingmu kelak sajadahku terbentang. Menjadi makmum yang baik dan berbakti kepada imamnya. Akan kusiapkan rumah yang aman dan nyaman saat kau berada di dalamnya hingga hatimu merasa tentram, bahu untuk kau bersandar jika kau lelah dan tangan yang mengusap-usap lembut punggungmu, sepasang telinga yang siap untuk mendengarkan cerita-cerita lucumu dan tentu saja keluh kesahmu, dan bibir untuk menenangkanmu dengan kalimat yang menentramkan dan mungkin aku bisa membuat cerita-cerita lucu yang terkadang tidak terlalu lucu. 

Wahai calon imamku,
Aku menunggumu untuk menyempurnakan agamaku. Menunggumu selagi aku menuntaskan studiku dan mempersiapkan diri menjadi istri yang baik untukmu kelak. Insya Allah :)



Bandung,
14 September 2014