29 September 2015

Untuk yang selalu bertanya-tanya

Kenapa penelitian saya memakan waktu yang agak lama?
Untuk yang selalu bertanya-tanya kapan saya sidang, untuk yang selalu bertanya-tanya ada masalah apa dengan penelitian saya, untuk yang bertanya-tanya bagaimana prosedur penelitian saya, untuk yang bertanya-tanya mengapa penelitian saya sepertinya susah sekali, untuk yang bertanya-tanya ini dan itu..

Well, bukan mau menyalahkan siapapun, tapi mungkin memang dari awal latar belakang penelitian saya kurang kuat, hingga sampai di semester 3 saya masih berganti-ganti judul, ya walaupun kenyataannya (jujur) di semester 3 saya (dan sebagian besar teman satu kelas) tidak merasa mendapat pencerahan pada thesis masing-masing pada salah satu mata kuliah utama (yang berjumlah 4 sks) yang nantinya akan menjadi penentu masa depan thesis di semester akhir. Dan yang cukup saya sayangkan, mengapa pembagian dosen pembimbing tidak dari semester 2 atau setidaknya awal semester 3, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian tidak terlalu mepet dan lebih matang. Tapi yasudahlah, mungkin memang itu yang terbaik menurut kebijakan kampus.

Pada saat masuk semester akhir, proposal mengalami perubahan. Oke, memang setiap mahasiswa memang mengalami penyesuaian dengan dosen pembimbing masing-masing. Namun masalah datang pada saat proposal penelitian saya mengharuskan untuk ganti dosen pembimbing kedua. Setelah ganti dosen pembimbing, masalah belum berhenti sampai disitu. Pada saat proses bimbingan, dosbing dua (dosen pembimbing) memberitahu bahwa ada salah satu thesis terdahulu yang mungkin dapat saya jadikan acuan karena masalahnya serupa. Namun saat saya cari di perpustakaan, internet, dll tidak saya temukan thesis tersebut, hingga akhirnya saya mendapatkannya via senior saya berupa pdf. Usut punya usut ternyata thesis tersebut tidak ada di perpustakaan, baik di komputer maupun di rak buku. Pada saat saya tanyakan kepada ibu perpus, beliau mengatakan bisa jadi thesis tersebut nilainya tidak bagus sehingga tidak masuk ke dalam perpustakaan (kalau tidak salah nilai A dan AB saja yang masuk ke dalam perpustakaan). That's why saya tidak menemukan thesis dengan nama dan judul yang dimaksud dosbing saya.

Singkat cerita, ketika saya pelajari thesis tersebut, saya cukup kaget karena kurang lebih penelitian saya mirip dengan thesis tersebut, bedanya saya mengambil dari sisi sikap dan persepsi dan bersifat kuantitatif. Begitu saya konsultasikan kepada dosbing satu, ketakutan saya terbukti. Beliau menyarankan untuk brainstorming kembali alias rombak ulang proposal saya. Beliau pesimis jika penelitian saya arahkan sebagai penelitian lanjutan dari thesis sebelumnya. Lemes? Jelas. Pusing? Absolutely. Nangis? Jangan ditanya. Inilah jawaban mengapa penelitian saya agak lama. Karena 1 semester yang semestinya digunakan untuk preview 1, preview 2, kolokium dan sidang, saya gunakan untuk brainstorming dan memfokuskan serta mempertajam penelitian saya. Yang dimana semestinya proses ini dilakukan di semester 3 di mata kuliah utama berjumlah 4 sks tersebut. Intinya saya tertinggal 1 semester untuk mempertajam kembali penelitian saya. Hingga akhirnya fokus, tujuan dan arah penelitian dapat saya tentukan menjelang akhir semester 4 dan dapat maju preview 1 setelah lebaran. Rasanya? Tak terkira. Setelah jungkir balik mencari tujuan dan fokus penelitian serta kesamaan visi dan misi dengan kedua dosbing, akhirnya kembali satu suara. 

Untuk yang bertanya apa sih yang saya teliti? Mengapa seribet itu? Projek atau kajian sih kok sampai memakai eksperimen? And the blablablabla...

Kalau boleh dibilang, penelitian saya mungkin disebut percampuran antara ilmu desain dan psikologi. Saya tahu dan sadar dari awal kalau penelitian saya ini "agak" susah karena harus menilai persepsi seseorang dari eksperimen yang nantinya saya lakukan pada penelitian. Tapi entahlah, saya seperti penasaran dan tertarik ingin membahas serta meneliti mengenai persepsi lebih jauh. Konsekuensinya ya memang harus sabar, telaten, dan kuat. Karena rangkaian proses yang sedemikian rupa yang tidak semudah penelitian kualitatif. 

Penelitian saya membahas mengenai persepsi dan sikap konsumen akan sebuah ruang interior (detailnya soon, setelah thesis saya rampung yaa). Penelitian ini menggunakan stimulus beberapa kondisi interior yang dinilai responden via kuesioner. Nah, proses yang lumayan ribet dan membuat penasaran dan jungkir balik adalah pada studi eksplorasinya. Singkat cerita, saya harus menemukan atribut untuk membuat stimulus interior sesuai dengan tujuan penelitian. Studi eksplorasi mulai dari penelitian sebelumnya, studi literatur hingga bertemu dengan narasumber dan expert yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada sesi expert inilah yang mengharuskan saya bertemu pakar-pakar interior dan arsitek yang memberi banyak pengalaman dan pengetahuan untuk saya secara pribadi. Mungkin nanti postingan yang akan datang saya bahas masing-masing expert pada penelitian saya. 

Setelah saya menyelesaikan studi eksplorasi tersebut, langkah selanjutnya adalah melakukan eksperimen dengan membuat stimulus interior berupa gambar 3D dengan beberapa kondisi yang kemudian dinilai via kuesioner oleh responden dan diolah secara kuantitatif. Setelah hasil berupa angka keluar, barulah bisa diambil kesimpulan dari penelitian saya. Dan untuk saat ini, saya sedang menyelesaikan studi eksplorasi dan akan segera beranjak menuju eksperimen.

Untuk yang selalu bertanya-tanya, semoga mengerti dengan penjelasan saya di atas haha. Doakan saya bisa maju sidang dan dinyatakan lulus tahun 2015 ini yaa.. Target dan inginnya sidang dan kelulusan nanti jadi kado ulang tahun untuk diri saya sendiri. Mohon doanya. Semoga penelitian saya dimudahkan, dilancarkan dan sesuai target. Aamiin..
Trimikisi untuk yang selalu bertanya-tanya, i know you care :)

2 April 2015

Bismillah, Dila :)

Akhir-akhir ini saya merasa diri saya menjadi sesosok yang gampang menangis. Menangis bukan karena percintaan atau berantem dengan teman, tapi lebih kepada rindu dengan rumah dan tentang perkuliahan. Dulu seingat saya, sewaktu masih mahasiswa S1 saya hanya menangis pada saat mama meninggal tahun 2007 dan sekali dalam masalah percintaan. Dan itu sudah lama sekali. Tapi, semenjak saya merantau, menjadi mahasiswa S2 dan harus jauh dari rumah, saya mendadak menjadi anak cengeng. Gampang menangis jika rindu dengan rumah, keluarga, mas partner dan sahabat. Wajar karena saya memang baru pertama kali merantau. Tapi semakin kesini saya merasa frekuensi menangis saya semakin hebat. Reason why i always cry adalah saat dimana fase perkuliahan memasuki masa klimaks yaitu thesis dan cukup membuat saya down karena pembimbing yang cukup alot ditambah lagi ketika kesepian, jauh dari keluarga dan perasaan ingin pulang tiba-tiba muncul bersamaan.

Saya tahu, terlalu cepat untuk mengeluh. Karena ini baru permulaan dan perjalanan saya masih baru dimulai. Tetapi sungguh terasa berat sekali, mengingat argumen saya yang selalu dimentahkan oleh pembimbing. Dan itu cukup membuat tertekan secara mental. Saya belum menemukan apa yang diinginkan oleh pembimbing. Saya masih meraba-raba apa keinginan saya dan kemauan beliau. Mungkin usaha saya kurang keras, mungkin argumen saya kurang kuat, mungkin saya kurang kuat berdoa. Semua memang membutuhkan proses.

Ingin rasanya berkeluh kesah, kepada sahabat, kepada keluarga, kepada mas partner. Tapi saya tidak ingin dikenal sebagai anak tukang mengeluh, saya takut justru mereka akhirnya jadi kepikiran dan khawatir saya kenapa-kenapa. Lagipula masalah yang dihadapi mereka siapa tahu lebih berat atau sama beratnya. Bukannya saya meremehkan atau bagaimana, sudah terlintas saran yang akan saya dapatkan seperti apa, sehingga kembali lagi memang kita sendiri yang harus survive. Akhirnya saya pendam sendiri dan tiba-tiba saya menjadi sesosok yang pendiam dan entahlah saya seperti merasa sendiri dan kesepian. Bagaimanapun, tempat curhat terbaik seorang hamba adalah Tuhannya. Dan tempat saya berkeluh kesah adalah kepada-Nya. Menjadi bertambah cengenglah saya, selalu menangis dan menangis di setiap sujud.

Saya rindu tertawa lepas, saya rindu ketika bisa bebas kemana saja, saya rindu sebuah ketenangan. Tapi jalan ini sudah saya pilih dan harus saya selesaikan. "There is no growth in comfort zone and no comfort in a growth zone". Kalimat itulah yang saya pegang. Berusaha selalu saya ingat jika setiap kali saya menyerah dan ingin pulang. Karena tidak ada perkembangan dalam zona yang terlalu nyaman dan tidak ada kenyamanan dalam zona yang terus berkembang.

Bismillah, Dila.. :)

Q.S Al Insyiraah ayat 5-6


28 Desember 2014

"Jangan lupa prioritas, dek"


Ketika saya mendengar kabar itu, dada terasa sesak dan seketika terhenyak

Bulan ini, saya genap berumur 26 tahun. Tidak ada yang spesial di hari ulangtahun saya, kecuali beberapa keluarga yang tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya dan tak lupa ibu dari mas partner saya yang ikut serta membuat saya menitikkan air mata di pagi hari :')
Terlepas dari itu semua, saya terlupa bahwa ayah saya sebentar lagi akan segera pensiun. Walaupun beliau masih energik sekali dalam melakukan apapun, tapi usia beliau sudah memasuki masa pensiun. Dan kabar pagi hari kemarin, di saat saya sedang sibuk-sibuknya dengan deadline tugas yang cukup menyita otak dan perhatian, seketika tersadar dan terhenyak bahwa saat itu akan tiba. Saat dimana ayah saya akan segera pensiun.

Saya yakin dan percaya kepada Allah SWT bahwa rejeki itu sudah diatur dan tidak akan tertukar. Insya Allah selama kita berusaha, berdoa dan tak lupa bersedekah, maka rejeki itu akan selalu ada. Seharusnya dengan keyakinan seperti itu saya tidak sepatutnya khawatir dan cemas. Lalu entah apa yang saya khawatirkan, saya pun tak tahu. Satu yang pasti, perasaan saya sesak rasanya, kalut, dan seketika blank seperti tidak tahu harus berbuat apa.

Apakah setiap anak yang mengalami hal seperti ini sama seperti perasaan yang saya alami? Apakah akan sekalut ini? Seharian saya tidak bisa berkonsentrasi (dan pada akhirnya saya paksakan untuk mengenyahkan kekalutan itu sebentar sembari saya bergerak cepat menyelesaikan tugas), malam harinya saya menangis seperti anak kecil yang tersesat. Terisak-isak tanpa suara dan tertidur hingga menimbulkan sisa mata yang bengkak di pagi hari.

Mungkin ini salah satu proses menjadi dewasa. Saya sebagai anak tertua dari 4 bersaudara, harus kuat, harus bisa berpikir dewasa dan bijaksana. Mungkin itulah yang membuat beban di pundak saya berat rasanya. Saya tidak merasa bahwa saya terbebani dan merasa terpaksa. Tidak sama sekali. Justru saya merasa bagaimana caranya agar semua orang yang di sekeliling saya bahagia dan tidak susah. Saya benci mengecewakan orang lain.

Sepupu baik saya mengatakan bahwa saat ini yang harus saya lakukan adalah fokus terhadap studi saya. Belajarlah untuk mengesampingkan masalah itu sementara dan fokuslah terhadap studi agar dapat segera lulus. Ya, amat besar harapan saya untuk bisa lulus tepat waktu. Saya menikmati proses kuliah ini, tapi saya juga bisa segera lulus tepat waktu agar tidak menjadi beban orang tua. Kejelekan sifat saya adalah pribadi yang gampang kepikiran, susah untuk mengesampingkan sejenak dan berkonsentrasi terhadap hal lain yang lebih penting. Masalah sedikit, bikin uring-uringan kepikiran. Gampang kok bikin saya stres. Tinggal bikin masalah dan voila! Saya akan kepikiran dan uring-uringan hingga masalah itu selesai dan timbul perasaan lega pada diri saya.

"Jangan lupa prioritas, dek"

Pesan itu yang akan menjadi pedoman saya hingga nanti saya dinyatakan lulus oleh kampus. Bahwa studi saya akan menjadi prioritas saat ini. Bukan lantas menghiraukan urusan lainnya, tapi saya harus keras pada diri saya sendiri. Saya harus tegas pada diri saya sendiri untuk tidak terlalu memikirkan hal lain selain menyelesaikan studi saya. Setelah lulus dan bekerja, tanggung jawab saya berpindah kepada kebahagiaan keluarga dan tak lupa kebahagiaan saya sendiri. Bismillah yang terpenting adalah ridho Allah dan ridho orangtua :)


Foto ini diambil di sekitar lingkungan kampus. Dan kalimat itulah yang paling pas menggambarkan keinginan saya :)